1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) م 7 ابريل 1725 و 28 ديسمبر 1795 - جرد الجدول

From Rodovid AR

الشّخص:169963
Jump to: navigation, search
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> 1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara I]
الميلاد: 7 ابريل 1725, Kartasura
الزواج: <1> Raden Ayu Kusuma Patahati [Nuriman]
الزواج: <2> Ratu Alit [Pakubuwono III]
الزواج: <3> 2. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] و 30 ديسمبر 1801
اللقب المميّز: 1757, Surakarta, Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto
الطلاق: <3!> 2. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] و 30 ديسمبر 1801
الوفاة: 28 ديسمبر 1795, Surakarta
اللقب المميّز: 1983, Jakarta, Pahlawan Nasional Indonesia
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.

Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati"


فهرست

Riwayat

Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.

Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749.

RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.

Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.

Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.

Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.

Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.


Perjanjian Salatiga

Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.

Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara

Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

Tarian Ciptaan Mangkunegoro

Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : 1.Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. 2.Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. 3.Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Gelar Pahlawan Nasional

Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795

Putra Mahkota

Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM. |Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 'Kartasura".

Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini adalah putra mahkota kerajaan Mataram.

Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom" yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah menjadi Hamengkunegara.

Penggeseran kedudukan putra mahkota tidak menghilangkan jabatan di kerajaan karena di Mataram Pangeran Mangkunegara tetap menjabat sebagai penasehat kerajaan. Keberadaan Mangkunegara sebagai penasehat ini pun oleh kelompok lawan lawan poltiknya masih diupayakan untuk menjegal dan lebih jauh melenyapkan karena sebagai waris sah yang tergeser bisa diprediksikan diwaktu waktu mendatang bakal menjadi bom waktu yang siap meledak.

Keberhasilan lawan lawan Mangkunegara dalam menyingkirkan putra mahkota sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh Mataram yang begitu saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan peragu. Hohendorf sendiri sebagai kepala garbnisun di Surakarta pernah menyampaikan kepada Sunan (PB II) bahwa Mataram selama dalam pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidak stabilan kerajaan.

Pada satu sisi pernyataan kepala garnisun belanda itu juga kontroversial berhubung dia sendiri sebagai seorang militer Belanda melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya.

Dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini, sekilas sudah dapat dicatat adanya satu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas limit perjuangan.

Target Mataram yang utuh dan tidak terbagi gagal dipertahankan tetapi Mataram yang muda dan utuh berhasil diperjuangkan karena kemudian menjelma menjadi Mangkunegaran (mengikuti nama putra mahkota Mataram; Mangkunegara). Mataram yang muda berada berada ditangan raja sedang mataram yang muda berada ditangan putra mahkota.

Mataram yang yang tua akhirnya menerima nasib dibagi menjadi dua yang sama saja menamatkan keberadaannya sedang mataram yang muda bertahan dan menjelma menjadi Mangkunegaran.

Dalam percaturan politik Jawa mau tidak mau dua keraton lain dan belanda harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik. Meski posisi diatas kertas kedudukan Mangkunegaran di posisikan sebagai yang dibawah kerajaan karena status kadipaten (sesuai wilayah putra mahkota kerajaan) akan tetapi defacto politik tidak hanya show dan pamer kemegahan semata.Politik dan kekuasaan adalah perwahyuan yang harus dijaga sekaligus kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa tidak mampu dalam permainan itu sejarah tetap akan mencatat prestasi masing masing kerajaan.

2

21/2 <1> Pangeran Hario Prabuamijoyo [Mangkunegara I] 32/2 <1> Kanjeng Pangeran Adipati Ario Padmonagoro [?]
KPAA Padmonagoro, Bupati Wirosobo
43/2 <1> Kanjeng Pangeran Tumenggung Adipati Purbonagoro [Mangkunegara I]
KPTA Purbanagoro pernah menjabat sebagai Bupati Kediri Propinsi Jawa Timur
54/2 <1> Bendoro Raden Ayu Tumenggung Suryonagoro [Mangkunagoro]
Bendoro Raden Ayu Tumenggung Suryonagoro adalah Istri Raden Tumenggung Suryonagoro Bupati Keduang
65/2 <1> R. M. Tg. Hr. Soerjokoesoemo Patje [Mangkunegara]
R. M. Tg. Hr. Soerjokoesoemo Patje atau B.R.M.H.T. Soerjokoesoemo adalah salah satu anak dari K. G. Pn. Hp. Hr. Mangkoenegoro I.

Image:Gambar_Sejarah_Kraton_Surakarta_(small).JPG

Image:Kanjeng_Gusti_Pangeran_Adipati_Arya_Mangkunegara_I_dan_turunan_pertamanya.jpg
76/2 <1> Bendoro Raden Ayu Semi [Mangkunegoro I] 87/2 <1+?> Bendoro Raden Ayu Adipati Suroadimenggolo [Mangkunegara I]
98/2 <1> Bandoro Raden Ayu Soerjadiprana [Soeryadiprana] 109/2 <1> Bendoro Raden Mas Sumarjana Cakraatmaja [Mangkunegara I]

3

111/3 <2> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II (Th:1796-1835) [Mangkunegara II]
الزواج: <7> Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II [Mangkunegara]
اللقب المميّز: 25 يناير 1796, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro II
اللقب المميّز: 30 يناير 1832, Medali Militaire Willems Orde (Kelas Tiga)
اللقب المميّز: 1833?, Medali Orde van de Nederlandsche Leeuw
الوفاة: 26 يناير 1835, Astana Mangadeg
Mangkunegara II adalah raja di Mangkunegaran yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835).Mangkunegara II merupakan keturunan langsung dari Mangkunegara I sebab ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I.

Asal Usul Mangkunegara II Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.

Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

Pemerintahan Mangkunegara II

Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
122/3 <3> Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo [Padmonagoro]
Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo istri Bupati Blora
133/3 <4> Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo [?]
Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo adalah istri Bupati Blora
144/3 <5> Raden Ayu Demang Sumodiwongso [Suryonagoro]
155/3 <5> RMH Suryokantha [Suryonagoro]
166/3 <6> R. M. P. Dirdjokoesoemo / Tjandrakoesoemo [?]
177/3 <4> Raden Mas Tumenggung Wironagoro [Mangkunegoro I]
188/3 <2+?> Kph. Djojokusumo / Eyang Santri [Mangkunegara I]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Cidahu Gunung Salak dan Makam Eyang Santri

Silsilah dan Kelahiran

Tempat Pemakaman KPH DJOJOKUSUMO/Eyang Santri), Sumber : [http://www.merbabu.com/gunung/gunung_salak_curug_pilung.php
Tempat Pemakaman KPH DJOJOKUSUMO/Eyang Santri), Sumber : [http://www.merbabu.com/gunung/gunung_salak_curug_pilung.php
Eyang Santri yang nama muda-nya Pangeran Djojokusumo adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran yang lahir pada tahun 1770. Ia adalah cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu : Pangeran Prabuamidjojo, di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.

Masa Remaja

Di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.

Berkontribusi Dalam Penyusunan Serat Centhini

Pada tahun1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.

Keliling Jawa

Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa. Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.

Keterkaitan dengan Pangeran Diponegoro

Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.

Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat,bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.

Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.

Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.

Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata “Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.

Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.

Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.


Pasca Perang Diponegoro

Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.

Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.

Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagiWahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.

Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.

Ada beberapa cerita bahwa wajah eyang santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin, -hidup abadi- dalam terminologi India? Yang jelas eyang santri wafat tahun 1929 di usianya yang 159 tahun.

Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri kepada Bung Karno.

(Anton DH Nugrahanto).
199/3 <4> Bendoro Raden Ajeng Ngaisah [Mangkunegara I]
الزواج: <8> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Vlll [Pakubuwono VIII] م 20 ابريل 1789 و 28 ديسمبر 1861

4

201/4 <11> Pangeran Hadipati Suryomijoyo I [Mangkunegara II] 212/4 <11+7> Raden Kanjeng Ayu Suyati / Raden Ayu Notokusumo [Mangkunegara II] 223/4 <11> Raden Ajeng Sekeli [Mangkunegara II] 234/4 <19+8> Gusti Kanjeng Ratu Bendoro [Pakubuwono VIII]
245/4 <12> Raden Mas Ronggo Tirtokusumo II [Tirtokusumo]
256/4 <13> Raden Mas Panji Sumodiwiryo [Tirtokusumo]
267/4 <19+8> Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.6.1] ? (Gusti Kanjeng Ratu Hamengku Buwono, Pakubuwono VIII) [Pakubuwono VIII]
278/4 <16> R. Adj. Marijati R. Ayu Wirjokastro / Wirjosoedir [?]
289/4 <17> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sutanogoro [Mangkunegoro I] 2910/4 <11> Pangeran Suryohadiwinoto [Mangkunegara II]

5

301/5 <21+9> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara III (Th:1835-1853) [Mangkunegara III]
الميلاد: 16 يناير 1803
الزواج: <13> Raden Ayu Sekarkedhaton ? (Pakubuwono V) [?]
اللقب المميّز: 16 يناير 1843, Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro III
الوفاة: 27 يناير 1853, Astana Mangadeg
312/5 <22+10> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara IV (Th:1853-1881) [Mangkunegara IV]
الزواج: <14> Raden Ayu Semi [?]
الزواج: <48!> Raden Ayu Dunuk [Mangkunegara III]
اللقب المميّز: 1853, KGPAA
393/5 <28+12> 11. Raden Mas Tumenggung Kartowadono / Wiratmojo [Mangkunegoro I]
الميلاد: 16 يونيو 1860, Purworejo
التعليم: 1874, Masuk sekolah Jawa dan lulu Ujian Pendadaran Calon Priyayi Alit
الزواج: <15> Burni Sudarmilah [Cokronagoro I]
العمل: 1878, Ampel, Menjadi carik (juru tulis) di Kabupaten Ampel dengan nama Wiroatmojo
العمل: 1879, Ampel, Diangkat menjadi ‘griffier’ (mantri) pada ‘Pradoto’ Kabupaten Ampel dan beliau berganti nama menjadi Raden Ronggo Joyosugito kemudian menjadi Panewu Distrik Kota Surakarta
الزواج: <16> Atmodiwati / Rubini [Wongsonegoro]
العمل: 1896, Boyolali, Menjadi Kliwon Polisi Boyolali dengan nama Raden Ngabehi Kartowadono
الزواج: <17> Citrowati / Siti Kalsum [Tejokusumo]
العمل: 1916, Sukoharjo, Menjadi Kliwon Polisi Kepala di Kabupaten Sukoharjo
الوفاة: 23 ديسمبر 1929, Surakarta, Solo, Dimakamkan di pemakaman Gedong Obat Kartosuro
324/5 <23+10> Pangeran Hario Hadiwijoyo II [Amangkurat IV]
335/5 <24> Raden Mas Ngabehi Poncogerjito [Sumodiwiryo]
Raden Mas Ngabehi Poncogerjito pernah menjadi Penewu Tawangmangu
346/5 <25> Raden Ayu Poncogerjito [?]
357/5 <26+11> Gusti Raden Ajeng Kusdilah [Hb.6.14] [Hamengku Buwono VI]
368/5 <26+11> Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hb.6.15] [Hamengku Buwono VI]
379/5 <23+10> Raden Ayu Kustiyah [Amangkurat IV]
3810/5 <27> R. M. Soebadi Martosoedirdjo [?]
4011/5 <29> Bendoro Raden Ayu Atmosuharto [Mangkunegara II] 4112/5 <21+9> Raden Ayu Sariadi [Amangkurat IV]

6

541/6 <31> Pangeran Harya Gandahatmaja [Mangkunegara IV]
الدفن: Astana Girilayu, Karanganyar
862/6 <31> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosewoyo [Mangkunegara IV]
الميلاد: 16 سبتمبر 1838
443/6 <37+21> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X / Sunan Panutup (Raden Mas Malikul Kusno) [Pakubuwono X]
الميلاد: 29 نوفمبر 1866, Surakarta
الزواج: <24> Ratu Mandayaretna [Pakubuwono III]
الزواج: <85!> B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV]
الزواج: <25> R. A. Pandamroekmi [Pandamroekmi]
الزواج: <26> R. A. Tranggonoroekmi [Tranggonoroekmi]
الزواج: <27> B. R. A. Retno Poernomo [Rejodipuro]
اللقب المميّز: 30 مارس 1893 - 1 فبراير 1939, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X
الزواج: <28> Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Hb.7.61] [Hamengku Buwono VII] و 28 مايو 1944, Yogyakarta
الوفاة: 1 فبراير 1939, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana X (lahir: Surakarta, 1866 – wafat: Surakarta, 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 – 1939.

Kisah Kelahiran Nama aslinya adalah Raden Mas Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat Ayu Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari Ayu Kustiyah.

Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ayu Kustiyah melahirkan Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.

Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipuran.

Masa Pemerintahan

Kereta khusus untuk mengangkut jenazah Pakubuwana X ke Yogyakarta menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang cenderung stabil, di samping itu juga merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern.Pakubuwono X menikah dengan Ratu Hemas (putri Raja Hamengkubuwono VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR Pembajoen

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun melalui simbol budayanya Pakubuwana X tetap mampu mempertahankan wibawa kerajaan. Pakubuwana X sendiri juga mendukung organisasi Sarekat Islam cabang Solo, yang saat itu merupakan salah satu organisasi pergerakan nasional Indonesia.

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai [[Sunan Panutup]] atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Pakubuwana XI.
874/6 <31> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosuputro [Mangkunegara IV]
الميلاد: 2 سبتمبر 1881, Surakarta
الدفن: Astana Girilayu, Karanganyar
KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu dia masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, ia mengikuti Mangkunegara IV ke Batavia untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh Ludolph Anne Jan Wilt, baron Sloet van de Beele.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.

Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan Mangkunegara IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh Mangkunegaran IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.

Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian ia diangkat dalam jabatan “yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran”. Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah Mangkunegara IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semenjak KPH. Gondosaputra mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, ia melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo.

Semasa ia memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah Mangkunegara IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, ia memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.

Dengan dipimpin oleh adiknya, Kapten KPH. Gondosisworo, pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura. Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran dapat membalikkan keunggulan pasukan Belanda atas Pasukan Kesultanan Aceh. Atas jasa jasa Legiun Mangkunegaran yang dipimpinnya selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Salib Penunggang) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV. Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosaputra dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran.

Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, hingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas Artileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.

Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputra bukan merupakan daerah yang asing. Dia sejak lama mendapat tugas dari ayahnya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum dia wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputra. Pada tahun 1881 ayahnya wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, KPH. Gondosaputra menyusul ayahnya. Keduanya dimakamkan di Girilayu.
435/6 <31+48!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VI (Th:1896-1916) [Mangkunegara VI]
اللقب المميّز: 1896, Prabu Mangkunegara VI [1896-1916]
426/6 <31+48!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara V (Th:1881-1896) [Mangkunegara V]
457/6 <33+?> Raden Ayu Poncopranowo I [?]
468/6 <32> KPH Soekirman Mangun Wijaya [Amangkurat IV]
479/6 <34> Raden Ayu Poncopranowo I [?]
4810/6 <30> Raden Ayu Dunuk [Mangkunegara III] 4911/6 <36+20> Raden Mas Soecipto Hadiwijoyo [Hb.5.9.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
5012/6 <36+20> Raden Mas Soengkowo Hadiwijoyo [Hb.5.9.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
5113/6 <36+20> Raden Mas Dracman Sahid Hadiwijoyo [Hb.5.9.3] [Hamengku Buwono V]
5214/6 <30+?> 1. Raden Mas Suryahandaka [Mangkunegara III]
5315/6 <30+?> 2. Raden Ajeng Kuning [Mangkunegara III]
5516/6 <38> R. Ngt. Ismilatin Martodiwirjo [?]
5617/6 <39> Raden Ayu Sadiyah [Kartowardono]
5718/6 <39> Raden Ayu Robiatu Adawiyah [Kartowardono]
5819/6 <39> Raden Ayu Mariati [Kartowardono]
5920/6 <39> Raden Mas Ngabehi Mangunpandoyo [Kartowardono]
6021/6 <39> Raden Mas Tumenggung Secodiningrat [Kartowardono]
6122/6 <39> Raden Ayu Maharsi [Kartowardono]
6223/6 <39> Raden Ayu Endang Nowawi [Kartowardono]
6324/6 <39> Raden Ayu Harinah [Kartowardono]
6425/6 <39> Raden Surasno [Kartowardono]
6526/6 <39> Raden Ayu Suyanah [Kartowardono]
6627/6 <39> Raden Mas Soediono [Kartowardono]
6728/6 <39> Raden Mas Sutoyo Cokropranoto [Kartowardono]
6829/6 <39> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sutanto Sutonagoro [Kartowardono]
6930/6 <39> Raden Mas Sahitman Sosroatmojo [Kartowardono]
7031/6 <39> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sulistiyo Wironagoro [Kartowardono]
7132/6 <39> Raden Ayu Andira [Kartowardono]
7233/6 <39> Raden Mas Sumeto [Kartowardono]
7334/6 <39> Raden Ayu Suminah [Kartowardono]
7435/6 <39> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sugoto Kartonagoro [Kartowardono]
7536/6 <39> Raden Mas Sumiwo [Kartowardono]
7637/6 <39> Raden Ayu Sumawi [Kartowardono]
7738/6 <39> Raden Ayu Sukatin [Kartowardono]
7839/6 <39> Raden Agoes Soeparwo [Kartowardono]
7940/6 <30> RM Suryodarmoyo [Mangkunegara III]
8041/6 <30> B.r.m. Soerjopoetro [Mangkunegara III] 8142/6 <30> B. R. M. Soerjohoedojo [Mangkunegara III] 8243/6 <31> B. R. M. Gondowidjojo [Mangkunegara IV]
8344/6 <30> Kanjeng Pangeran Haryo Suryodiningrat [Mangkunegara III]
8445/6 <31> B. R. A. Praboewidjojo [Mangkunegara IV] 8546/6 <31+48!> B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV] 8847/6 <31> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosisworo [Mangkunegara IV]
8948/6 <31> Kanjeng Pangeran Haryo Doyosuputro [Mangkunegara IV]
9049/6 <31> Kanjeng Pangeran Haryo Doyokisworo [Mangkunegara IV]
9150/6 <31> Raden Mas Panji Nitikusumo [Mangkunegara IV]
9251/6 <31> Kanjeng Pangeran Haryo Handoyonoto [Mangkunegara IV]

7

951/7 <45+?> Raden Demang Poncosantoho II [Poncopranowo]
الميلاد: 1851, Jatipuro (Karanganyar)
الوفاة: 16 ديسمبر 1907, kecamatan Giriwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
قالب:Place name error Raden Demang Poncosantoho II lahir 22 Ruwah Tahun Alip 1780 (1851 Masehi)
932/7 <42> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII [Mangkunegara VII]
الميلاد: 15 أغسطس 1855
الزواج: <36> Raden Roro Mardewi [Wongsosoetirto]
الزواج: <37> B. R. A. Setyowati [Setyowati]
الزواج: <38> Mas Ayu Retnoningrum [Retnoningrum]
الزواج: <39> Mas Ayu Sitaningrum [Sitaningrum]
الزواج: <40> Mas Ayu Kamijem [Kamijem]
الزواج: <41> B. R. A. Tedjowati [Tedjowati]
العمل: 11 يناير 1916 - 1944, Surakarta, Sunan Surakarta bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII
الزواج: <42> Gusti Kanjeng Ratu Timur [Hb.7.65] (Bendoro Raden Ajeng Mursudarya) [Hamengku Buwono VII] , Surakarta
الوفاة: 19 يوليو 1944
KGPAA. Mangkunegara VII (lahir 12 November 1885 - wafat 1944) adalah pemegang tampuk pemerintahan Mangkunegaran dari tahun 1916 - 1944. Ia adalah salah seorang putera dari Mangkunegara V. Ia menggantikan pamannya, Mangkunegara VI, yang mengundurkan diri pada 11 Januari 1916.

Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada jamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama tradisional.

Mangkunegara VII terlahir dengan nama Raden Mas Soerjo Soeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.

Anak putri tertua Mangkunegara VII, yaitu BRAy. Partini, menikah dengan P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari Serang, Banten.

Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun 1916.

Semangat Mangkunegara VII untuk mencari ilmu pengetahuan sudah tampak sejak muda, ketika pamannya Mangkunegara VI melarangnya untuk masuk HBS, ia memilih untuk berkelana dan menjalani hidup di luar keraton; menjadi penerjemah bahasa Belanda-Jawa dan mantri di tingkat kabupaten. Sedangkan kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa Java-Instituut, tidak luput juga karya ilmiahnya tentang simbolisme wayang Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).

Ia juga turut menjadi tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa.

Selain itu ia juga seorang perwira KNIL dengan jabatan Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.
1413/7 <86> Raden Mas Pandji Gondosoenario [Mangkunegara IV]
الميلاد: 1859?
964/7 <42+31> Bendoro Raden Mas Samekto (K. P. H. Soerjokoesoemo) [Mangkunegara V]
الميلاد: 9 October 1873, solo, Putra mahkota dari KGPAA Mangkunegara V
الزواج: <43> B. R. A. Catharina Bertha [Catharina Bertha]
الزواج: <44> B. R. A. Soerjokoesoemo [Wreksodiningrat]
الوفاة: 22 سبتمبر 1934, Klaten
الدفن: 23 سبتمبر 1934, Astana Girilayu, Karanganyar
1095/7 <44+27> Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudo [Pb.10.5] (Bendoro Raden Mas Abimanyu) [Pakubuwono X]
الميلاد: 17 يناير 1884
الزواج: <45> Gusti Kanjeng Ratu Hangger II [Hb.7.33] [Hamengku Buwono VII] , <46> R. A. Setiopoespito [Setiopoespito] م 1894? و 16 مايو 1985
الوفاة: 16 يناير 1956
الدفن: Imogiri, Bantul
946/7 <44+24> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XI [Pakubuwono XI]
الميلاد: 1886, Surakarta
الزواج: <47> Raden Ayu Kuspariyah / Gusti Kanjeng Ratu Pakoe Boewono [Pakubuwono]
الزواج: <48> G. K. R. Kentjono [Sosrodiningrat]
الزواج: <49> R. A. Dojoresmi [Dojoresmi]
الزواج: <50> R. A. Dojoningsih [Dojoningsih]
الزواج: <51> R. A. Dojosoemo [Dojosoemo]
الزواج: <52> R. A. Dojoasmoro [Dojoasmoro]
الزواج: <53> R. A. Dojoningrat [Dojoningrat]
اللقب المميّز: 26 ابريل 1939 - 1945, Surakarta, Raja Kasunanan Surakarta Ke-10 [1939-1945]
الوفاة: 1945, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana XI (lahir: Surakarta, 1886 – wafat: Surakarta, 1945) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.

Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Antasena, putra Pakubuwana X yang lahir dari permaisuri Ratu Mandayaretna, pada tanggal 1 Februari 1886. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939.

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Pakubuwana XII
1367/7 <42+29> B. R. A. Soerarti [Mangkunegara V]
الميلاد: 7 ابريل 1891
الزواج: <54> R. A. A. Warsohadiningrat [Warsohadiningrat]
1378/7 <42+30> K. P. H. Soerjosoerardjo [Mangkunegara V]
الميلاد: 6 October 1891
989/7 <44+28> Kanjeng Pangeran Haryo Djatikusumo [Pb.10.23] (Bendoro Kanjeng Pangeran Haryo Purbonegoro) [Pakubuwono X]
الميلاد: 1 يوليو 1917, Solo
الزواج: <55> Bendoro Raden Ayu Jatikusumo [Hb.7.78] (R. A. Soeharsi Widianti) [Hamengku Buwono VII] , Yogyakarta
الميلاد: 1 يونيو 1946 - 1 مارس 1948, Rembang, Panglima Divisi V Ronggolawe
العمل: 1948 - 1949, Jakarta, Kepala Staf TNI Angkatan Darat I
العمل: 1958 - 1960, Singapura, Duta Besar RI untuk Singapura
العمل: 1959 - 1960, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja I
العمل: 1960 - 1962, Jakarta, Menteri Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja II
العمل: 1962 - 1963, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja III
الوفاة: 4 يوليو 1992
12210/7 <44+28> G. K. R. Pembajoen [Pakubuwono X]
الميلاد: 25 مارس 1919
الزواج: <56> R. A. A. M. Sis Tjakraningrat [Cakraadiningrat II] و 24 سبتمبر 1992
الوفاة: 10 يوليو 1988, Ciputat, Tangerang Selatan
الدفن: Imogiri, Bantul
11011/7 <44> Kanjeng Pangeran Haryo Suryohamijoyo [Pb.10.32] [Pakubuwono X] 11112/7 <55+?> Raden Moerdoto Hadiwijono [?]
الوفاة: 1 يناير 1998
Lokasi rumah Jl. Karang Asem IV di Google Street : Rumah Karang Asem Image:Raden_Moerdoto_Hadiwijono_(keturunan_ke_6_dari_Mangkunegara_I).jpg
9713/7 <44> G.p.h.k. Suryo Suman [Pakubuwono X]
9914/7 <46+?> Pangeran Hario Sutecky Wijaya [Amangkurat IV]
10015/7 <47> Raden Demang Poncosantoho II [?]
10116/7 <44+27> Gusti Bendoro Raden Ayu Retno Puwoso [Pakubuwono X] 10217/7 <44> Bendoro Raden Ayu Suryodiningrat [Pb.10.?] (Bendoro Raden Ajeng Kusatima) [Pakubuwono X] 10318/7 <51> Raden Mas Agoes Budiarto [Hb.5.9.3.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10419/7 <51> Raden Ayu Tuti Sulastri [Hb.5.9.3.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10520/7 <51> Raden Ayu Agoes Anwari [Hb.5.9.3.3] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10621/7 <51> Raden Mas Agoes Wiradat [Hb.5.9.3.4] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10722/7 <51> Raden Ayu Ien Harsini [Hb.5.9.3.5] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10823/7 <51> Raden Ayu Siti Waito Sahid Sudarjo Hadi Atmojo [Hb.5.9.3.6] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
11224/7 <79> RM. Soemodarmoyo [Mangkunegara III]
11325/7 <80> R.m. Ng. Hardjosoepoetro [Mangkunegara III] 11426/7 <81> R.m. Ng. Wirjohoedojo [Mangkunegara III] 11527/7 <80> R. M. P. Warsohatmodjo [Mangkunegara III] 11628/7 <82> R. Ay. Siti Atini [?] 11729/7 <79> R. Ay. Harjosebroto (Sudarmi) [Mangkunegara III]
11830/7 <79> R. Ay. Mangunhartono (Sumarni) [Mangkunegara III]
11931/7 <79> R. Aj. Sukarti [Mangkunegara III]
12032/7 <79> R. M. Ng. Wirodarmoyo (Sujono) [Mangkunegara III]
12133/7 <44> Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwidjojo Maharsi Tama [Pakubuwono X]
KGPH. Hadiwidjojo merupakan pendiri Universitas Saraswati, Surakarta
12334/7 <44> G. P. H. Poespokoesoemo [Pakubuwono X]
12435/7 <83> Raden Mas Ngabehi Harjokoesoemo [Mangkunegara III] 12536/7 <43> K. P. H. Soejono Handojoningrat [Mangkunegara VI]
12637/7 <42> Bendoro Raden Ajeng Sutantinah (B. R. A. Koesoemodiningrat) [Mangkunegara V] 12738/7 <42> K. P. H. Soerjosoegijanto [Mangkunegara V]
12839/7 <42> K. P. H. Soerjosoewito [Mangkunegara V]
12940/7 <42> K. P. H. Soerjosoebandoro [Mangkunegara V]
13041/7 <42> K. P. H. Soerjosoemasto [Mangkunegara V]
13142/7 <42> K. P. H. Soerjosoemanto [Mangkunegara V]
13243/7 <42+31> K. P. H. Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
13344/7 <42> K. P. H. Soerjosoekanto [Mangkunegara V]
13445/7 <42> K. P. H. Soerjosoetanto [Mangkunegara V]
13546/7 <42> K. P. H. Soerjosoebandrijo [Mangkunegara V]
13847/7 <44> G. R. A. Koesprapti [Pakubuwono X] 13948/7 <44> Gusti Raden Ajeng Kusniyah (G. K. R. Alit) [Pakubuwono X] 14049/7 <44+25> G. R. A. Koesdinah (G. R. A. Brotodiningrat) [Pakubuwono X]
G. R. A. Brotodiningrat adalah seorang tokoh paranormal yang menjadi penasihat spiritual/Kejawen Keraton Surakarta.
14250/7 <86> Raden Mas Gondosoebario [Mangkunegara IV]
14351/7 <42> B. R. A. Soeparti [Mangkunegara V] 14452/7 <44+26> G. R. A. Koes Salbijah (G. R. A. Poernomo Hadiningrat) [Pakubuwono X] 14553/7 <51> Raden Mas Teguh Pambudi [Hamengku Buwono V]
14654/7 <44> G. R. A. Koesindinah (G. R. A. Tjokrodiningrat) [Pakubuwono X] 14755/7 <42> Bendoro Raden Mas Soerarso (K. P. H. Soerjosoerarso) [Mangkunegara V]
14856/7 <44+27> G. R. A. Koesrahmani (G. R. A. Adipati Djojonegoro) [Pakubuwono X]
الزواج: <73> K. P. H. Adipati Djojonegoro [Sosrodiningrat IV] , Keraton Surakarta Hadiningrat
14957/7 <44> G. R. A. Koestantinah (G. R. A. Woerjaningrat) [Pakubuwono X]

8

2451/8 <121> Bendoro Raden Mas Hapsoro Wresnowiro (K. P. H. Djojoningprang) [Pakubuwono X]
العمل: Rektor Universitas Islam Sultan Agung, Semarang
الزواج: <246!> B. R. A. Koespinah [Paku Alam VII]
BRM. Hapsoro Wresnowiro adalah teman BRM. Dorodjatoen (Sri Sultan Hamengkubuwono IX) saat kuliah di Belanda.
2122/8 <96+43> R. A. Hendrarsi Soerjokoesoemo [Mangkunegara V]
الميلاد: 3 يوليو 1894, Surakarta
الزواج: <76> Raden Mas Iskak Tjondrodipoero (K. R. M. T. Iskak Martonagoro) [Tjondrodipoero] م 19 October 1883
الوفاة: 22 سبتمبر 1964, Surakarta
2073/8 <93+36> B. R. A. Partini [Mangkunegara VII]
الميلاد: 14 أغسطس 1902
الزواج: <77> Hoessein Djajadiningrat [Djajawinata] م 8 ديسمبر 1886 و 12 نوفمبر 1960
الوفاة: 1998
1524/8 <101+62> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII / Bendoro Raden Mas Haryo Sularso Kunto Suratno (Kanjeng Pangeran Haryo Prabu Suryodilogo) [Pakualaman]
الميلاد: 10 ابريل 1910, Yogyakarta
الزواج: <78> Kanjeng Bendoro Raden Ayu Purnamaningrum [Pakualaman]
الزواج: <79> Kanjeng Raden Ayu Ratnaningrum [?]
اللقب المميّز: 13 ابريل 1937, Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Haryo Prabu Suryodilogo
اللقب المميّز: 1942 - 11 سبتمبر 1998, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII
العمل: 1 October 1988 - 3 October 1998, Yogyakarta, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
الوفاة: 11 سبتمبر 1998, Yogyakarta
Pendidikan yang ditempuh adalah Europesche Lagere School Yogyakarta, Christelijk MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta, Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - sampai tingkat candidaat). Pada 13 April 1937 ia ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo menggantikan mendiang ayahnya. Setelah kedatangan Bala Tentara Jepang pada tahun 1942 ia mulai menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.

Pada 19 Agustus 1945 bersama Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII mengirimkan telegram kepada Sukarno dan Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada 5 September 1945 secara resmi KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat/Maklumat (semacam dekrit kerajaan) bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah kerajaan terkecil pecahan Mataram ini menjadi daerah Istimewa. Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober tahun yang sama, ia berdua sepakat untuk menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI. Selain itu ia juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah.

Setelah Hamengkubuwono IX mangkat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayatnya pada tahun 1998. Perlu ditambahkan bahwa pada 20 Mei 1998 ia bersama Hamengkubuwono X mengeluarkan Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya ia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
1855/8 <93+42> Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani / Gusti Noeroel [Mangkunegara VII]
الميلاد: 17 سبتمبر 1921, Surakarta
الزواج: <186!> Raden Mas Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
الوفاة: 10 نوفمبر 2015, Bandung
Gusti Noeroel terkenal memiliki paras yang cantik. Karena kecantikannya, pada saat itu Gusti Noeroel menjadi primadona di Kota Solo dan didambakan para tokoh negara. Mulai dari mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang biasa mengirimkan kado melalui sekretarisnya ke kediaman Gusti Noeroel di Pura Mangkunegaran ketika rapat kabinet digelar di Yogyakarta. Gusti Noeroel juga didambakan oleh Kolonel GPH Djatikusumo, salah seorang prajurit militer. Yang menarik adalah mantan Presiden Soekarno yang juga tertarik dengan Gusti Noeroel namun konon kalah bersaing dengan Sutan Sjahrir.[3] Tokoh negara lainnya yang mencoba meminang Gusti Noeroel adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memiliki 9 orang selir. Namun semua tokoh tersebut tidak ada satupun yang berhasil memikat hati Gusti Noeroel. Putri bangsawan ini memutuskan untuk menerima pinangan seorang militer berpangkat letnan kolonel yang bernama RM Soerjo Soejarso.

Kecantikan Gusti Noeroel yang termasyhur ini juga dibarengi dengan kepiawaiannya menari. Suatu kali, di usianya yang masih 15 tahun, Gusti Noeroel diminta datang secara khusus untuk menari di hadapan Ratu Wilhelmina di Belanda. Tarian tersebut dipersembahkan sebagai kado pernikahan Putri Juliana. Menariknya, saat itu rombongan dari Mangkunegaran tidak membawa gamelan untuk mengiringi tarian Gusti Nurul. Tarian itu diiringi alunan gamelan yang dimainkan dari Pura Mangkunegaran dan dipancarkan melalui Solosche Radio Vereeniging, yang siarannya bisa ditangkap dengan jernih di Belanda[4].

Gusti Noeroel juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang membidani berdirinya Solosche Radio Vereeniging, stasiun radio pertama di Indonesia.
2436/8 <94+52> G. R. M. Soerjosoeksoro (G. P. H. Notopoero) [Pakubuwono XI]
الميلاد: 15 يوليو 1922
1517/8 <94+47> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII [Pakubuwono XII]
الميلاد: 4 ابريل 1925, Surakarta
الزواج: <80> Kanjeng Raden Ayu Pradapaningrum [Pakubuwono]
الزواج: <80!> Kanjeng Raden Ayu Pradapaningrum [Pakubuwono]
الزواج: <81> K. R. A. Retnodiningroem [Retnodiningroem] م 1928? و 13 مايو 2021
الزواج: <82> K. R. A. Poedjoningroem [Poedjoningroem]
اللقب المميّز: 11 يونيو 1945 - 11 يناير 2004, Surakarta, Raja Susuhunan Surakarta ke-11 [1945-2004]
الوفاة: 11 يونيو 2004, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana XII (lahir: Surakarta, Jawa Tengah, 1925 – wafat: Surakarta, Jawa Tengah, 2004) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1945 – 2004.

Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Suryaguritna, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah pada tanggal 14 April 1925. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945.

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Negara baru ini menjadikan Yogyakarta dan Surakarta sebagai provinsi-provinsi berstatus Daerah Istimewa.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.

Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.

Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.

Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.

Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.

Pakubuwana XII meninggal dunia pada tanggal 11 Juni 2004. Sepeninggalnya [[terjadi perebutan takhta]] antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
2488/8 <144+71> B. R. A. Moerjati Soedibjo [Hadiningrat]
الميلاد: 5 يناير 1928, Surakarta
الزواج: <83> K. R. M. H. Soedibjo Poerbo Hadiningrat [Hadiningrat]
Hj. DR. BRA. Mooryati Soedibyo, S.S., M. Hum. adalah Wakil Ketua II Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden Direktur Mustika Ratu, dan salah satu pencetus ide kontes pemilihan Puteri Indonesia yang digelar setiap tahun. Mooryati Soedibyo tercatat oleh MURI sebagai peraih gelar doktor tertua di Indonesia, dan sebagai "Empu Jamu". Ia juga masuk sebagai urutan nomor 7 dalam daftar 99 wanita paling berpengaruh di Indonesia 2007 versi majalah Globe Asia.

Biografi

Cucu Sri Susuhunan Pakoe Boewono X Keraton Surakarta ini terkenal dengan segala hal yang berkaitan dengan kecantikan, jamu tradisional, dan lingkungan keraton. Sejak usia 3 tahun ia tinggal di Keraton Surakarta yang dikenal sebagai sumber kebudayaan Jawa. Di keraton itu, ia mendapat pendidikan secara tradisional yang menekankan pada tata krama, seni tari klasik, kerawitan, membatik, ngadi saliro ngadi busono, mengenal tumbuh-tumbuhan berkhasiat, meramu jamu, dan kosmetika tradisional dari bahan alami, bahasa sastra Jawa, tembang dengan langgam mocopat, aksara Jawa Kuno, dan bidang seni lainnya.

Tahun 1973, hobi minum jamu Mooryati Soedibyo yang dilakukan sejak masih belia, akhirnya dikembangkannya sebagai usaha. Ramuan jamu resep Keraton Surakarta yang semula diberikan kepada teman-temannya, akhirnya berubah menjadi bisnis. Produknya mulai diekspor ke kurang lebih 20 negara, diantaranya Rusia, Belanda, Jepang, Afrika Selatan, Timur Tengah, Malaysia dan Brunei.[3] Produknya juga berkembang menjadi 800 buah produk, mulai dari balita, umum, super, dan premium. Diawali dengan produk untuk orang tua sampai dengan remaja puterinya.

Tahun 1990 ia meluncurkan ajang Puteri Indonesia, yang dikembangkannya setelah menyaksikan acara Miss Universe di Bangkok tahun 1990. Mooryati yang sering berkunjung ke luar negeri untuk mengadakan seminar, pameran mau pun sendiri mulai ingin membuat ajang Puteri Indonesia. Dari sini timbul keinginannya untuk membuat wanita Indonesia percaya diri tampil di dunia internasional.Hal ini sebelumnya telah dipelopori oleh Andi Nurhayati yang semenjak tahun 70-an menjadi pemegang franchise pengiriman Miss-miss-an kelas internasional, begitu pula nama majalah Femina yang sudah bertahun-tahun sebelumnya menyelenggarakan pemilihan Putri Remaja Indonesia, yang menghasilkan gadis-gadis paling enerjik, cerdas dan modern se Indonesia. Kini Mooryati Soedibyo, berupaya menggabungkan kesemua itu dalam ajang Pemilihan Puteri Indonesia.

Lalu ia mengeluarkan ide tersebut ke Badan Pengembangan Eksport Nasional, dan disetujui. Mooryati akhirnya membentuk Yayasan Puteri Indonesia dan menjadi Ketua Umum. Tapi ajang Pemilihan Puteri Indonesia tak sepenuhnya disetujui masyarakat. Bahkan menjadi polemik sampai sekarang. Mooryati sendiri telah berhasil mengadakan ajang Pemilihan Puteri Indonesia sampai yang ke-enam kalinya. Dan pernah vakum selama 3 tahun (1997,1998,1999) karena kondisi dan situasi negara yang tidak memungkinkan.
2119/8 <96+44> R. A. Soenitoeti [Mangkunegara V]
R. A. Soenitoeti adalah puteri KPH. Sowrjokoesoemo dari perkawinannya dengan puteri Wreksodiningrat, Patih Surakarta.
18310/8 <111+?> 6. Raden Rachmat Budi Raharjo [?]
الوفاة: 17 يونيو 2000
16811/8 <99+?> Pangeran Hario Arya Kusumo Wijaya [Amangkurat IV]
العمل: Director of Foreign affairs and finances of Asia Africa Foundation
العمل: Vice Chairman of Global Trustee
العمل: Vice Chairman - Aria International Corp.
الزواج:
الزواج: <84> Rina Risnawati [Risnawati] م 10 ديسمبر 1973 و 22 October 2018
الزواج: <85> Raden Ayu Diane Ekawaty [Wijaya] م 21 أغسطس 1975, Jakarta
الزواج: 6 مايو 2004, Cirebon
الزواج: <85!> Raden Ayu Diane Ekawaty [Wijaya] م 21 أغسطس 1975, <86> RAy. Siti Angelina Gayatri [Wijaya] م 18 أغسطس 1975
الوفاة: 29 مايو 2021
15012/8 <93+38> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara Vlll (Th:1944-1987) [Mangkunegara VIII]
15313/8 <95+?> Raden Ngabehi Poncosantoho III [?]
Para wayah (cucu) Poncosantoho III (Eyang Buyut Mangli) yang berada di Jakarta dan sekitarnya pernah mengadakan arisan keluarga Mangli (Poncosantahan III) pada tahun 1977 - 1990. terdiri dari keluarga :
- Katik Suyanto (Tarudiwerno)
- Sri Daryanti-Sudarto (Tarudiwerno)
- Sudiro (Harjosuksoro) 
- Sudibyo (Harjosuksoro)
- Sutomo (Harjosuksoro)
- Sri Hastuti-Cuk Darwadi (Sugiyarto Citropranowo)
- Suhadi (Sugiyarto Citropranowo)
- Sri Suwarti-Hartun Sunjata (Sugiyarto Citropranowo)
- Haryanto (Sugiyarto Citropranowo)
- Sugiyatno (Sugiyarno Poncosantoho)
15414/8 <95+?> Raden Nganten Harjowasono - Harjohantoro [?]
Raden Nganten Harjowasono dimakamkan di Bonoloyo, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah
15515/8 <95> Raden Nganten Martowacono [?]
Raden Nganten Martowacono dimakamkan di Bonoloyo, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah
15616/8 <95> Mas Ayu Retnaningsih [?]
Mas Ayu Retnaningsih dimakamkan di Astana Utara, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah
15717/8 <95> Raden Nganten Taruwijoyo [?]
Raden Nganten Taruwijoyo dimakamkan di Piriharjo, Manyaran
15818/8 <95> Raden Nganten Harjosuwarno [?]
Raden Nganten Harjosuwarno, dimakamkan di Bonoloyo, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah
15919/8 <95> Raden Ngabehi Harjosantoho [?]
Raden Ngabehi Harjosantoho dimakamkan di Tegalgede, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah
16020/8 <95+?> Raden Nganten Harjolukito [?]
16121/8 <95> Raden Nganten Harjodikaryo [Raden Demang Poncosantoho II]
16222/8 <95> Raden Ngabehi Harjopranowo [Raden Demang Poncosantoho II]
16323/8 <95> Raden Nganten Harjosuwarso [Raden Demang Poncosantoho II]
16424/8 <95> Raden Nganten Citrokastoro [Raden Demang Poncosantoho II]
16525/8 <97+61> Raden Ayu Suniati [Pakubuwono]
16626/8 <97+61> Raden Ayu Suniasri [Pakubuwono]
16727/8 <97+61> Bendoro Raden Mas Bambang Suryo Sunindyo [Pakubuwono]
16928/8 <108> Raden Mas Eddy Sarwono [Hb.5.9.3.6.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
17029/8 <108> Raden Ayu Erny Soedaryati [Hb.5.9.3.6.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
17130/8 <108> Raden Ayu Etri Wahyuhidayati [Hb.5.9.3.6.3] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
17231/8 <108> Raden Ayu Esti Iwardani [Hb.5.9.3.6.4] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
17332/8 <110+57> Kanjeng Raden Mas Haryo Suryo Baswo S. [Hb.7.19.1.4] [Pakubuwono X]
17433/8 <110+57> Bendoro Raden Mas Suryo Danindro S. [Hb.7.19.1.3] [Pakubuwono X]
17534/8 <110+57> Bendoro Raden Ajeng Murhardining [Hb.7.19.1.2] (Bendoro Raden Ayu Cipto Yuwono) [Pakubuwono X] 17635/8 <110+57> Bendoro Raden Ajeng Kusniati [Hb.7.19.1.1] (Bendoro Raden Ayu Suryo) [Pakubuwono X]
17736/8 <111+?> 2. Hj. Rr. Sri Wulan Hastuti [?]
17837/8 <111+?> 5. Haji Raden Kukuh Mulyo Raharjo [?]
17938/8 <111+?> 3. Haji Raden Tri Wahyu Wibowo [?]
18039/8 <111+?> 7. Raden Nugroho Pudyo R. [?]
18140/8 <111+?> 1. Raden Duddy Purwo Hadiyanto [?]
18241/8 <111+?> 4. Hj. Rr. Tutin Kanti Rahayu [?]
18442/8 <111+?> 8. Raden Wijayanto R. [?] 18643/8 <147> Raden Mas Soerjosoejarso [Mangkunegara V] 18744/8 <112+?> RM. Askarim Sumodarmoyo [Mangkunegara III] 18845/8 <113> R.M.Ng. Hatmowarsono [Mangkunegara III] 18946/8 <114> R.Ay. Wirjati [Mangkunegara III] 19047/8 <115+116!> R. M. Srijatto [Mangkunegara III] 19148/8 <112+?> R. Ay. Wignyosudiro (Rukiyarti) [Mangkunegara III]
19249/8 <112+?> R. M. P. Partodamoyo (Rukiyatmo) [Mangkunegara III]
19350/8 <112+?> R. Ay. Satyopranowo (Rukiyarsi) [Mangkunegara III]
19451/8 <112+?> R. M. Sastrodarmoyo (Rukiyarso) [Mangkunegara III]
19552/8 <112+?> R. M. Hartodarmoyo (Rukiyarto) [Mangkunegara III]
19653/8 <112+?> R. Ay. Prawirosiwoyo (Rukiyarni) [Mangkunegara III]
19754/8 <112+?> R. M. Rukiyarno Sumodarmoyo [Mangkunegara III]
19855/8 <112+?> R. M. Suraryo Sumodarmoyo [Mangkunegara III]
19956/8 <112+?> R. Ay. Suyoso [Mangkunegara III]
20057/8 <112+?> R. M. Joedojo Sumodarmoyo [Mangkunegara III]
20158/8 <112+?> R. Ay. Yudasih [Mangkunegara III]
20259/8 <112+?> R. M. Darminto Prawiro Darmoyo (Darminto Gendu) [Mangkunegara III]
20360/8 <121> B. R. A. Nedima Koesmarkiah [Pakubuwono X] 20461/8 <122+56> Bendoro Raden Mas Munier Tjakraningrat (K. P. H. Pakuningrat) [Cakraadiningrat II] 20562/8 <123> Bendoro Raden Mas Puspo Makmun Firmansjah [Pakubuwono X]
20663/8 <124+64> K. P. H. Soemoharjomo [Mangkunegara III] 20864/8 <93+39> Bendoro Raden Mas Santoso (K. P. H. Hamidjojo Santoso) [Mangkunegara VII]
20965/8 <93+40> B. R. M. Sanjaya [Mangkunegara VII]
21066/8 <93+41> B. R. A. Partina [Mangkunegara VII] 21367/8 <96+43> Raden Mas Hendrarko Soerjokoesoemo [Mangkunegara V]
21468/8 <94+47> Gusti Raden Ajeng Sapariyam (G. K. R. Sekar Kedaton) [Pakubuwono XI]
21569/8 <136+54> R. A. Soenjoto [Warsohadiningrat]
21670/8 <136+54> Raden Mas Soekarno [Warsohadiningrat]
21771/8 <136+54> Raden Mas Sarono [Warsohadiningrat]
21872/8 <136+54> R. A. Sarjati [Warsohadiningrat]
21973/8 <136+54> Raden Mas Sajogja [Warsohadiningrat]
22074/8 <136+54> Raden Mas Soegondo [Warsohadiningrat]
22175/8 <136+54> R. A. Sarwimoerti [Warsohadiningrat]
22276/8 <136+54> R. A. Moektini [Warsohadiningrat]
22377/8 <136+54> Raden Mas Sapoetro [Warsohadiningrat]
22478/8 <136+54> R. A. Warmarti [Warsohadiningrat]
22579/8 <138+66> R. A. Siti Handajoe Padmonagoro [Padmonagoro]
22680/8 <126+65> B. R. A. Soewarni [Pakubuwono IX] 22781/8 <126+65> B. R. A. Soewarsi [Pakubuwono IX] 22882/8 <126+65> K. P. H. Tjokrokoesoemo [Pakubuwono IX]
K. P. H. Tjokrokoesoemo adalah menantu Pakubuwono X.
22983/8 <96+43> R. A. Hendrastoeti [Mangkunegara V]
23084/8 <122+56> B. R. A. Koes Siti Marlia [Tjakraningrat]
23185/8 <122+56> B. R. A. Koes Sistijah Siti Mariana [Tjakraningrat]
23286/8 <122+?> Bendoro Raden Mas Muhammad Malikul Adil Tjakraningrat [Cakraadiningrat II]
23387/8 <110> K. P. H. Soerjo Windrojo Hamidjojo [Pakubuwono X]
23488/8 <139+68> Bendoro Raden Mas Prawironagoro [Pakubuwono IX]
23589/8 <94+48> K. G. P. H. Mangkoeboemi [Pakubuwono XI]
23690/8 <94+48> G. K. R. Hajoe [Pakubuwono XI]
23791/8 <94+48> G. K. R. Bendoro [Pakubuwono XI]
23892/8 <94+48> G. K. R. Tjondrokirono [Pakubuwono XI] 23993/8 <94+50> G. R. M. Danoerwendo (K. G. P. H. Hangabehi) [Pakubuwono XI]
24094/8 <94+50> G. R. M. Soerjolelono (K. G. P. H. Praboewidjojo) [Pakubuwono XI]
24195/8 <94+50> G. R. A. Koesoemodartojo [Pakubuwono XI]
24296/8 <94+52> G. R. M. Soerjodarmojo (G. P. H. Bintoro) [Pakubuwono XI]
24497/8 <94+47> G. K. R. Kedaton [Pakubuwono XI]
24698/8 <101+62> B. R. A. Koespinah [Paku Alam VII] 24799/8 <144+71> B. R. A. Moertini [Hadiningrat]
249100/8 <144+71> B. R. A. Moertijah [Hadiningrat]
250101/8 <145> Raden Mas Bagas Satria Nugraha [Hamengku Buwono V]
251102/8 <146+72> Bendoro Raden Mas Indropoetro [Pakubuwono IX]
252103/8 <146+72> Bendoro Raden Mas Indroatmodjo [Pakubuwono IX]
253104/8 <146+72> Bendoro Raden Mas Indradi [Pakubuwono IX]
254105/8 <129> K. R. M. T. H. Soediarto Soerjosoebandoro [Mangkunegara V]
255106/8 <99+?> Pangeran Hario Rayno Priowitjaksono Wijaya [Wijaya] 256107/8 <101+62> B. R. A. Soelastri (B. R. A. Soegirwo) [Paku Alam VII]
257108/8 <101+62> B. R. A. Koesbandinah (B. R. A. Soetardjo Kartoningprang) [Paku Alam VII]
258109/8 <101+62> B. R. A. Koesdarinah (B. R. A. Harjono Djoeroemartani) [Paku Alam VII]
259110/8 <101+62> B. R. A. Koesbinah (B. R. A. Soegoto Kartonegoro) [Paku Alam VII]
260111/8 <132> K. P. H. Soetardjo Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
الزواج: <98> w Dolly Zegerius [Zegerius] م 1925 و 18 سبتمبر 2019
261112/8 <109+46> B. R. A. Tamasri [Pakubuwono X] 262113/8 <109+45> G. R. A. Siti Djinzoelkari [Pakubuwono X]
GRA. Siti Djinzoelkari meninggal dalam usia muda.
263114/8 <109+46> B. P. H. Soemodiningrat [Pakubuwono X]
264115/8 <124+64> K. P. H. Prawironegoro [Mangkunegara III]
Personal tools