1. Nyi R. Kuraesin - جرد الجدول

From Rodovid AR

الشّخص:635103
Jump to: navigation, search
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?> 1. Nyi R. Kuraesin [Hamengku Buwono]

2

21/2 <1+?> 2. R. Muhammad Sanusi / Mama Sanusi [Hamengku Buwono]
32/2 <1+?> 3. RH. Muhammad Tohir / R. Toing [Hamengku Buwono]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Palika dan Delman di Sungai Cisadane

Ditulis batarfie 15 Mei 2019


Rd.H.Moh Thohir bin Rd.H.Gaos

Lubuk adalah bagian dari aliran sungai yang terdalam. Air dibagian lubuk ini pada umumnya tenang dan tidak mengalir tapi terkadang ada arus yang kuat dari bagian dasarnya. Beberapa lubuk memiliki nama tersendiri dan karenanya sudah ada yang menjadi nama daerah seperti Lubuk Linggau di Sumatera Selatan dan Lubuk Pakam di Sumatera Utara.

Masyarakat sunda mengenal istilah lubuk dengan sebutan Leuwi. Seperti halnya Lubuk, beberapa nama daerah di Jawa Barat juga diambil dari nama Leuwi, antaranya adalah Leuwiliang di Kabupaten Bogor dan Leuwi Panjang yang kini menjadi nama terminal bis di Bandung. Bahkan ada beberapa nama Leuwi di Bogor memiliki kaitan erat dengan sejarah Pakuan Pajajaran dan ada yang sudah menjadi legenda salah satu antaranya bernama Leuwi Sipatahunan yang berada dekat dengan Istana Bogor di sungai Ciliwung.

Dalam tradisi lisan masyarakat sunda, kata Leuwi juga dipakai sebagai peribahasa untuk menggambarkan sikap dalam filosofi kehidupan sehari-hari seperti ungkapan "Ka Cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak" yang memiliki makna; pepatah ini mengingatkan kita dalam menjalani hidup untuk selalu tetap bersama-sama, sebab manusia tidak dapat hidup sendirian.

Di sepanjang sungai Cisadane yang melintasi kawasan di Empang, ada dua Leuwi yang populer dengan sebutan Leuwi Ceuli dan Leuwi Kuda.

Ceuli dalam bahasa sunda berarti telinga, disebut demikian karena bentuknya yang hampir mirip daun telinga yang menjoros setengah melingkar yang dalam bahasa sunda disebut dengan sedong. Bagian dari sedong itulah yang jika dilihat dari atas jembatan Ledeng akan ada penampakan seperti berbentuk daun telinga, karena itulah orang-orang menamakannya dengan sebutan Leuwi Ceuli. Dahulu pada bagian sedong itu pula sering menjadi titik untuk pencarian jenazah yang hanyut terbawa oleh derasnya air sungai di Cisadane.

Adalah R.Mohammad Tohir atau akrab disapa Gan Toing yang dikenal memiliki kemampuan menyelam berlama-lama dalam sungai yang karena keahliannya itulah, Ia dikenal sebagai sebagai seorang Palika, sebuah kata petukangan yang dalam istilah Sunda maksudnya adalah "tukang teuleum".

Gan Toing sering dimintai bantuan untuk melakukan pencarian korban yang tenggelam di sungai, bahkan ia wafat saat sedang melakukan tugas mulianya ketika tengah mencari jenazah korban palid di sungai Cisadane, korbannya kala itu adalah anak seorang peranakan Arab putera laki-laki dari ami Mahfudz Mahdami yang tinggal dalam lorong sempit di Gang Surya, Lolongok Empang.


Peristiwa itu terjadi pada Bulan Suci Ramadhan saat dimana umat Islam tengah melaksanakan Ibadah puasa, demikian pula halnya dengan Gan Toing. Kejadian itu diperkirakan pada pukul 2 siang di tengah panasnya terik matahari, setelah dimintai pertolongan Ia pun segera bergegas dari kediamannya di Gang Intan dengan diiringi oleh para kerabat korban palid menuju sungai Cisadane. Diduga korban sudah terbawa arus sungai di dekat bendungan (dam pulo), atau pada bagian bawah arus air yang keluar dari pintu bendungan yang dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1872.

Seperti biasanya, Gan Toing langsung menenggelamkan diri untuk melakukan pencarian pada celah bebatuan di dasar sungai. Ratusan masyarakat menyaksikan peristiwa yang mencekam itu karena setelah setelah timbul tenggelamnya Gan Toing sebagai seorang Palika, beberapa waktu kemudian setelah hampir lebih dari satu jam Ia tidak kunjung muncul kepermukaan.

Hari itu cuaca berubah menjadi mendung dan awan gelap menyeliputi kota Bogor pertanda akan turun hujan. Berkat bantuan seorang Palika lainnya, pada pukul lima sore Gan Toing akhirnya diketemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa dan ada pendarahan di tempurung kepalanya. Kuat dugaan ia terbentur oleh batu bercadas pada bagian tebing saat akan bangkit dari dasar sungai. Gan Toing wafat di mana ia selalu berhasil menemukan pencarian jenazah yang tenggelam dalam dasar sungai.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sebelumnya beliau sempat dicegah untuk tidak melakukan pencarian karena usianya yang sudah uzur dan juga kondisi kesehatannya yang sedang kurang sehat, tapi karena panggilan misi kemanusiaan profesinya itupun tetap dilakoninya hingga Ia syahid (Insya Allah) dalam keadaan berpuasa di kedalaman sungai Cisadane pada 16 Romadhon tahun 1969.

Palika yang insya Allah syahid di dasar sungai cisadane itu kemudian dimakamkan dalam komplek Pemakaman Keluarga Besar Dalem Sholawat di Empang, di batu nisannya ditulis Rd.Moh Thohir bin R.H.Gaos.

Ayahnya R.H.Gaos adalah bekas Hofd Penghoeloe Tjibadak di masa kolonial Hindia Belanda. R.H Gaos merupakan generasi kedua Raden Patih Candra Menggala atau Patih Bogor, sementara itu dari garis nasab ibunya merupakan generasi kelima Pangeran Dipenogoro dari garis anak laki-laki tertuanya Rd.Mas Djonet Dipenogoro yang wafat di Kampung Jawa Baru (Jabaru) di desa Pasir Kuda Bogor pada tahun 1832.


Adapun jembatan Ledeng yang melintasi Leuwi Ceuli dimana Palika Sepuh itu wafat sebagai syahid, dibangun oleh pemerintan kolonial Hindia Belanda yang pemakaiannya resmi dipergunakan pada 23 Desember 1922. Dinamakan Jembatan Ledeng karena dibawah jembatan itu ada saluran pipa air bersih yang diambil dari sumber mata air di daerah Kotabatu. Pipa Air Bersih atau pada masa Kolonial Hindia Belanda dinamakan sebagai waterleiding ini adalah sarana yang disediakan oleh Gemeente setingkat Pemerintah kota dimasa Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan air minum bagi warga Buitenzorg, khususnya orang-orang kaya belanda.

Pusat pengambilan sumber air bersih di daerah Kotabatu tersebut hingga kini masih dikenal sebagai Gang Haminte dari kata asing yang sering sulit diucapkan oleh lidah setempat untuk Gemeente. Pengelolaan sumber air bersih itu sampai dengan sekarang ini tetap berada di bawah pengelolaan pemerintah kota Bogor.

Leuwi lainnya yang berada pada aliran sungai cisadane di Empang adalah yang dikenal dengan sebutan Leuwi Kuda. Lokasinya berada di dekat pertemuan antara sungai Cisadane dan sungai Cipinang Gading. Dinamakan Leuwi Kuda karena dahulu digunakan untuk tempat memandikan kuda-kuda milik Haji Abdullah bin Umar Hasanah, pemilik banyak angkutan delman yang karena itu dikenal pula dengan panggilan Haji Abdullah Delman. Konon ia memiliki 40 orang anak dari 7 orang istri yang dinikahinya.

Haji Abdullah Delman adalah peranakan Arab yang memiliki lahan luas di jalan sedane untuk menyimpan kuda-kuda dan delman miliknya. Pada tahun 90-an di jalan sedane masih terdapat nama tempat yang disebut sebagai Istal Kuda, tapi bukan milik Haji Abdullah. Istal adalah istilah yang digunakan untuk penyebutan nama kandang kuda.

Tidak jauh dari tempat pemandian kuda-kuda milik Haji Abdullah didirikan sebuah langgar (musholla) di tepian dekat dengan Leuwi Kuda. Langgar itu dahulunya berfungsi sebagai sarana ibadah yang disediakan oleh Haji Abdullah Delman untuk para pekerjanya, kusir dan juga para penambang batu dan pasir di sungai Cisadane. Seiring dengan kebutuhan dan banyaknya para pengguna, Langgar itu kelak kemudian diperluas dan dibangun menjadi sebuah masjid yang permanen pada tahun tujuh puluhan dan dinamakan Al-Munawwar. Haji Hasan Hasanah salah seorang anak laki-laki Haji Abdullah Delman memiliki pengaruh dan berperan penting dalam usaha perluasan, pembangunan dan memakmurkan Masjid Al-Munawwar tersebut.

Nama Haji Hasan Hasanah dan masjidnya kian terkenal setelah di Masjid itu diselenggarakan kuliah shubuh pada setiap bulan suci Ramadhan. Jamaah yang menghadiri kuliah shubuh membludak hingga lebih dari seribu orang baik dari kaum pria maupun wanita hingga tumpah ruah ke jalan. Dari kepopuleran tokoh pemakmurnya itulah orang-orang kemudian lebih mengenalnya sebagai Masjid Haji Hasan.

BACA JUGA: Hikayat Nyai Lameh dan Sejarah Kemandoran, Antara Pal Merah dan Soekaboemi; Land yang Dipimpin Landheer dan Para Mandor DIREKTUR YOUTH DEVELOPMENT "My Block, My Hood, My City", Nathaniel Viets-VanLear yang berpusat di Chicago Amerika Serikat mengunjungi Empang Teko dan Cucing Antik dalam keranjang cina peranakan, dan asal usul Patekoan di Batavia

Allahyarham kyai Hadji Hasan Hasanah atau akrab disapa Ustadz Hasan yang merupakan putera Hadji Abdullah Delman

Haji Hasan Hasanah juga dikenal sebagai penyelenggara tour ziarah ketempat-ketempat jejak Islam di Nusantara, jauh sebelum menjamurnya biro-biro perjalanan wisata religi dimasanya. Sebagai penyelenggara dan pimpinan tour ziarah, Haji Hasan dikenal bijak dan bertanggung jawab terhadap anggota rombongan selama dalam perjalanan, karena itu dari waktu ke waktu pesertanya semakin bertambah peminatnya.

Haji Hasan wafat pada 14 Maret 1986, jenazahnya dihantar kepemakaman oleh para penziarah yang memadati masjid Al-Munawwar yang dibinanya dan berada persis di samping kediamannya di Jalan Cisadane. Istrinya Ustadzah Khadidjah juga dikenal sebagai pemimpin Majelis Taklim Muslimah, baik kegiatan yang dipusatkan di Masjid maupun dari rumah ke rumah di kampung Lolongok Empang dan sekitarnya.
43/2 <1+?> 4. NYI R. Ratnasari / Dedeh [Hamengku Buwono]
54/2 <1+?> 1. R. Sunardi [Wiradadaha]

3

61/3 <3> 1. R. Ibrahim [Hamengku Buwono]
72/3 <3> 2. R. Harun [Hamengku Buwono]
83/3 <3> 3. Nyi Rd. Djubaedah [Hamengku Buwono]
94/3 <4+?> 1. R. Djua [Hamengku Buwono]
105/3 <2> 1. R. Yusuf (Sukabumi) [Hamengku Buwono]
116/3 <2> 2. R. Haroen Djajadilaga [Hamengku Buwono]

4

121/4 <11+?> 1. R. Endah Djubaedah [Hamengku Buwono]

5

131/5 <12+?> 1. R. Rita Maryati [Hamengku Buwono]
142/5 <12+?> 2. R. Budi Mulyawan [Hamengku Buwono]
153/5 <12+?> 3. R. Yulhidyawati [Hamengku Buwono]
164/5 <12+?> 4. R. Deni Setiawan [Hamengku Buwono]
175/5 <12+?> 5. R. Eri Gunawan [Hamengku Buwono]

6

181/6 <13+?> 1. R. Devita Septiani Wibowo [Hamengku Buwono]
192/6 <14+?> 1. R. Maghfira F. Mulyawan [Hamengku Buwono]
203/6 <14+?> 2. R. Lail Mohammad Saddam [Hamengku Buwono]
214/6 <15+?> 1. R. Callista Salsabila [Hamengku Buwono]
225/6 <15+?> 2. R. Darryl Nabil Valentino [Hamengku Buwono]
236/6 <17+?> 1. R. Randinka Gibran Gunawan [Hamengku Buwono]
247/6 <17+?> 2. R. Alesha Ainayya Inara [Hamengku Buwono]
Personal tools